Rabu, 23 Februari 2011

PERBEDAAN EFEKTIFITAS MOBILISASI AKTIF DAN PASIF TERHADAP KECEPATAN PEMULIHAN PADA PASIEN POST SEKSIO SESARIA DI RUANG RAWAT INAP KEBIDANAN RUMAH SAKIT BAPTIS KEDIRI

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Seksio sesaria adalah suatu persalinan buatan, di mana janin dilahirkan melalui suatu insisi pada dinding perut dan dinding rahim dengan syarat rahim dalam keadaan utuh serta berat janin di atas 500 gram. (Sarwono Prawirohardjo, 2005). Mungkin alasan yang paling banyak adalah anggapan yang salah bahwa dengan operasi, ibu tidak akan mengalami rasa sakit seperti halnya pada persalinan alami (Dini Kasdu, 2003). Mobilisasi aktif merupakan latihan gerak isotonic dimana klien menggerakkan masing-masing persendiannya sesuai dengan rentang gerak yang normal (Eny Retna, 2009). Mobilisasi pasif merupakan latihan pergerakan dimana tenaga medis dan petugas lain menggerakkan persendian dari klien sesuai dengan rentang geraknya (Eny Retna, 2009). Dengan mobilisasi dini kontraksi uterus akan baik sehingga fundus uteri keras, maka resiko perdarahan abnormal dapat dihindarkan, karena kontraksi membentuk penyempitan pembuluh darah yang terbuka (Fauzi, C.M, 2007). Gerak tubuh akan membantu ibu memperoleh kembali kekuatan dengan cepat dan memudahkan kerja usus besar serta kandung kemih, paling tidak sampai ibu bisa buang gas. Memang rasa sakit yang masih terasa 2-3 hari setelah operasi, umumnya membuat ibu enggan menggerakkan badan, apalagi turun dari tempat tidur (Dini Kasdu, 2003).
Ibu yang mengalami seksio sesaria dengan adanya luka di perut akan membatasi pergerakan tubuhnya karena adanya luka operasi sehingga proses penyembuhan luka dan pengeluaran cairan atau bekuan darah kotor dari rahim ibu ikut terpengaruh (Bobak L.J, 2004).
Angka section caesarea terus meningkat dari insidensi 3 hingga 4 persen 15 tahun yang lampau sampai insidensi 10 hingga 15 persen sekarang ini (Harry, William R., 2010). Menurut Villar J, et al dalam Handry (2007), angka persalinan seksio sesaria beberapa tahun belakangan ini meningkat. Survey yang dilakukan di 120 fasilitas kesehatan di 8 negara bagian Amerika Latin menunjukkan dari 94.307 perempuan yang melahirkan, 31.821 perempuan menjalani persalinan seksio sesaria. Sedangkan Angka kejadian seksio sesaria di Indonesia menurut data survey nasional tahun 2007 adalah 921.000 dari 4.039.000 persalinan atau sekitar 22,8 % (www.idi.seksio.com.20%.sesaria).
Berdasarkan data medical record Rumah Sakit Baptis Kediri didapatkan bahwa telah dilaksanakan 70 operasi seksio sesaria dari 121 persalinan selama 3 bulan terakhir (Juni – Agustus) yang berarti 57,8 % dari total persalinan.
Peningkatan suhu tubuh karena adanya involusi uterus yang tidak baik sehingga sisa darah tidak dapat dikeluarkan dan menyebabkan infeksi dan salah satu dari gejala infeksi adalah peningkatan suhu tubuh; Involusi uterus yang tidak baik dan tidak dilakukan mobilisasi secara dini akan menghambat pengeluaran darah dan sisa plasenta sehingga menyebabkan terganggunya kontraksi uterus (Fauzi, C.M, 2007).


Berdasarkan data di atas, diperlukan partisipasi tenaga kesehatan dalam pelaksanaan mobilisasi dini pasien baik secara aktif maupun pasif. Oleh sebab itu peneliti tertarik untuk meneliti perbedaan efektifitas mobilisasi aktif dan pasif terhadap kecepatan pemulihan kondisi fisiologis pada pasien post seksio sesaria.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarakan pernyataan di atas, maka rumusan masalah yang dapat ditegakkan dari penelitian ini adalah adakah perbedaan efektifitas mobilisasi aktif dan pasif terhadap kecepatan pemulihan pada pasien post seksio sesaria di Ruang Rawat Inap Kebidanan Rumah Sakit Baptis Kediri?

1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Membandingkan efektifitas mobilisasi aktif dan pasif terhadap kecepatan pemulihan pada pasien post seksio sesaria di Ruang Rawat Inap Kebidanan Rumah Sakit Baptis Kediri.
1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.2.1 Mengidentifikasi mobilisasi dini aktif pada pasien post seksio sesaria di Ruang Rawat Inap Kebidanan Rumah Sakit Baptis Kediri.
1.3.2.2 Mengidentifikasi mobilisasi dini pasif pada pasien post seksio sesaria di Ruang Rawat Inap Kebidanan Rumah Sakit Baptis Kediri.
1.3.2.3 Mengidentifikasi proses pemulihan pada pasien post seksio sesaria di Ruang Rawat Inap Kebidanan Rumah Sakit Baptis Kediri.
1.3.2.4 Membandingkan mobilisasi aktif dan pasif terhadap kecepatan pemulihan pada pasien post seksio sesaria di Ruang Rawat Inap Kebidanan Rumah Sakit Baptis Kediri.

1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
Dapat membantu pengembangan ilmu keperawatan, terutama dalam perawatan pasien post seksio sesaria dalam pemulihan fungsi fisiologisnya.
1.4.2 Manfaat Praktis
1.4.2.1 Bagi Klien
Diharapkan pemulihan kondisi fisiologis pasien post seksio sesaria dapat tercapai lebih cepat dengan terapi mobilisasi yang efektif dan efisien.
1.4.2.2 Bagi Perawat
Diharapkan dapat meningkatkan wawasan perawat dalam pemberian asuhan keperawatan pada pasien post seksio sesaria.
1.4.2.3 Bagi Institusi Rumah Sakit Baptis Kediri
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan terhadap pasien post seksio sesaria, sehingga terwujud pelayanan yang maksimal.
1.4.2.4 Bagi Peneliti
Hasil penelitian dapat digunakan sebagai pengalaman konsep dan sistematika data, sebagai masukan, dan rujukan penelitian selanjutnya.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini akan diuraikan beberapa konsep, diantaranya konsep seksio sesaria, konsep mobilisasi aktif dan pasif, dan konsep post partum.

2.1 Konsep Seksio Sesaria
2.1.1 Pengertian
Istilah Caesar sendiri berasal dari bahasa Latin caedere yang artinya memotong atau menyayat. (Dini Kasdu, 2003)
Seksio Sesaria adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka dinding perut dan dinding rahim. (Kapita Selekta, 2000)
2.1.2 Klasifikasi
2.1.2.1 Seksio Sesaria Klasik : pembedahan secara Sanger
Indikasi :
a. Bila terjadi kesukaran dalam memisahkan kandung kencing untuk mencapai segmen bawah rahim.
b. Janin besar dalam letak lintang
c. Plasenta previa dengan insersi plasenta di dinding depan segmen bawah rahim.
2.1.2.2 Seksio Sesaria Transperitonial Profunda (supra cervicalis = lower segmen caesarean section).
2.1.2.3 Seksio Sesaria diikuti dengan histerektomi (caesarean hysterectomy = seksio histerektomi).
2.1.2.4 Seksio Sesaria Ekstra Peritoneal
Ada beberapa metode section caesarea extraperitoneal, seperti metode Waters, Latzko, dan Norton. Metode ini tidak dibuang, tetapi tetap disimpan sebagai cadangan bagi kasus tertentu. (Harry, William, 2010)
2.1.2.5 Seksio Sesaria Vaginal. (Sarwono Prawirohardjo, 2005)
2.1.3 Indikasi
2.1.3.1 Faktor Janin
a. Berat bayi lahir sekitar 4.000 gram atau lebih (giant baby). Janin dengan berat badan kurang dari 2,5 kg, lahir prematur, dan dismatur juga menjadi pertimbangan dilakukannya seksio sesaria mengingat perkembangan organ-organ tubuh terutama paru-paru yang belum sempurna. Karena didapatkan bahwa bayi yang lahir melalui seksio sesaria lebih banyak dibantu alat pernafasan setelah lahir dibandingkan yang lahir per vaginam.
b. Kelainan Letak Bayi
1) Letak sungsang
Letak janin di dalam rahim memanjang dengan kepala berada di bagian atas rahim, sementara pantat di bagian bawah rahim. Resiko bayi lahir sungsang pada persalinan alami diperkirakan 4 kali lebih besar dibanding lahir dengan letak kepala normal.
2) Letak lintang
Pada umumnya bokong akan berada sedikit lebih tinggi daripada kepala janin, sementara bahu berada pada bagian atas panggul. Kelainan ini dapat disebabkan karena adanya tumor di jalan lahir, panggul sempit, kelainan dinding dan bentuk rahim, plasenta previa, polihidramnion, gemeli, dan ukuran janin.
c. Ancaman Gawat Janin (fetal distress)
Terjadi bila terjadi gangguan pada ari-ari (akibat ibu hipertensi atau kejang rahim) serta gangguan tali pusat (akibat terjepit antara tubuh bayi), sehingga jatah oksigen ke bayi berkurang. Akibatnya janin tercekik karena kehabisan nafas. Kondisi ini bisa menyebabkan janin mengalami kerusakan otak, bahkan kematian janin.
d. Janin abnormal
Janin sakit atau abnormal, misalnya gangguan Rh, kerusakan genetic, dan hidrosephalus (kepala besar karena otak berisi cairan), dapat menyebabkan diputuskannya dilakukan operasi
e. Faktor plasenta
1) Plasenta previa
Posisi plasenta terletak di bawah rahim dan menutupi sebagian atau seluruh jalan lahir. Kelainan plasenta ada beberapa macam, yaitu menutupnya jalan lahir (plasenta letak rendah), menutupnya seluruh jalan lahir (previa marginal), sebagian plasenta menutupi jalan lahir (previa parsial), seluruh jalan lahir atau mulut rahim benar-benar tertutup oleh plasenta (previa total).
2) Plasenta lepas (solution placenta)
Merupakan keadaan plasenta yang lepas lebih cepat dari dinding rahim sebelum waktunya. Proses terlepasnya plasenta ditandai dengan perdarahan yang banyak, yang bisa keluar melalui vagina, tetapi bisa juga tersembunyi di dalam rahim.
3) Plasenta accreta
Merupakan keadaan menempelnya sisa plasenta di otot rahim. Apabila sisa yang menempel banyak, mungkin perlu histerektomi.
4) Vasa previa
Keadaan pembuluh darah rahim yang bila dilewati janin dapat menimbulkan perdarahan banyak yang membahayakan ibu.
f. Kelainan tali pusat
1) Prolapsus tali pusat (tali pusat menumbung)
Keadaan penyembulan sebagian atau seluruh tali pusat. Tali pusat berada di depan atau di samping bagian terbawah janin atau tali pusat sudah berada di jalan lahir sebelum bayi.
2) Terlilit tali pusat
Lilitan tali pusat ke tubuh janin berbahaya apabila kondisi tali pusat terjepit atau terpelintir yang menyebabkan aliran oksigen dan nutrisi ke tubuh janin tidak lancar.
g. Bayi kembar (multiple pregnancy)
Kelahiran bayi kembar memiliki resiko terjadi komplikasi yang lebih tinggi daripada kelahiran satu bayi.
2.1.3.2 Faktor ibu
a. Usia
Ibu yang melahirkan pertama kali pada usia sekitar 35 tahun, memiliki resiko melahirkan dengan operasi. Pada usia ini biasanya seseorang memiliki penyakit yang beresiko seperti hipertensi, penyakit jantung, diabetes, dan pre-eklampsia.
b. Tulang panggul
Cephalopelvic disproportion (CPD) adalah ukuran lingkar panggul ibu tidak sesuai dengan ukuran lingkar kepala janin yang dapat menyebabkan ibu tidak dapat melahirkan secara alami.
c. Persalinan sebelumnya dengan operasi Caesar
Umumnya , operasi Caesar akan dilakukan lagi pada persalinan kedua apabila operasi sebelumnya menggunakan sayatan vertikal (corporal). Namun operasi kedua bisa terjadi pada operasi sebelumnya dengan teknik sayatan melintang.
d. Faktor hambatan jalan lahir
Adanya gangguan pada jalan lahir, misalnya jalan lahir yang kaku sehingga tidak memungkinkan adanya pembukaan, adanya tumor dan kelainan jalan lahir, tali pusat pendek, dan ibu sulit bernafas.
e. Kelainan kontraksi lahir
Jika kontraksi rahim lemah dan tidak terkoordinasi atau tidak elastisnya leher rahim menyebabkan kepala bayi tidak terdorong dan tidak dapat melewati jalan lahir dengan lancar.
f. Ketuban pecah dini
Air ketuban yang pecah sebelum waktunya akan membuka rahim, sehingga memudahkan masuknya bakteri dari vagina.


g. Rasa takut kesakitan
Hal ini bersifat sangat individual mengingat rasa sakit yang akan dialami setiap orang juga akan ditanggapi dengan sikap dan cara berpikir yang berbeda. (Dini Kasdu, 2003)

2.1.4 Kontra Indikasi
2.1.4.1 Kalau janin sudah mati atau berada dalam keadaan jelek sehingga kemungkinan hidup kecil.
2.1.4.2 Kalau jalan lahir ibu mengalami infeksi yang luas dan fasilitas untuk caesarea extraperitoneal tidak tersedia
2.1.4.3 Kalau keadaan tidak menguntungkan bagi pembedahan atau kalau tidak tersedia tenaga asisten yang memadai. (Harry, William, 2010)

2.1.5 Resiko Operasi Caesar
2.1.5.1 Alergi
Resiko ini terjadi pada pasien yang alergi pada obat tertentu. Karena itu sebelum operasi akan ditanyakan kepada pasien apakah mempunyai alergi.
2.1.5.2 Perdarahan
Perdarahan dapat mengakibatkan terbentuknya bekuan-bekuan darah pada pembuluh darah balik di kaki dan rongga panggul. Kehilangan darah yang cukup banyak dapat menyebabkan syok secara mendadak.
2.1.5.3 Cedera pada organ lain
Penyembuhan luka bekas seksio sesaria yang tidak sempurna dapat menyebabkan infeksi pada organ rahim atau kandung kencing.
2.1.5.4 Parut dalam rahim
Pada kehamilan berikutnya memerlukan pengawasan yang cermat sehubungan dengan bahaya rupture uteri. Pada beberapa jenis kulit, sayatan bekas operasi dapat mengakibatkan terbentuknya keloid yang dapat menggangu karena terasa nyeri dan gatal.
2.1.5.5 Demam
Kadang-kadang demam setelah operasi tidak bisa dijelaskan penyebabnya. Kondisi ini bisa terjadi karena infeksi.
2.1.5.6 Mempengaruhi produksi ASI
Pembiusan total dapat mengakibatkan kolostrum tidak bisa dinikmati bayi dan bayi tidak dapat menyusu begitu dilahirkan. Namun bila dilakukan pembiusan regional tidak banyak berpengaruh (Dini Kasdu, 2003).

2.1.6 Prosedur Pembedahan
2.1.6.1 Teknik Seksio Sesaria Klasik
a. Mula-mula dilakukan desinfeksi pada dinding perut dan lapangan dipersempit dengan kain suci hama
b. Pada dinding perut dibuat insisi mediana mulai dari atas simfisis sepanjang kurang lebih 12 cm sampai di bawah umbilicus lapis demi lapis sehingga kavum peritoneal terbuka
c. Dalam rongga perut di sekitar rahim dilingkari dengan kasa laparotomi
d. Dibuat insisi secara tajam dengan pisau pada segmen atas rahim, kemudian diperlebar secara sagital dengan gunting
e. Setelah kavum uteri terbuka, selaput ketuban dipecahkan. Janin dilahirkan dengan meluksir kepala dan mendorong fundus uteri. Setelah janin lahir seluruhnya, tali pusat dijepit dan dipotong di antara kedua penjepit
f. Plasenta dilahirkan secara manual. Disuntikkan 10 U oksitosin ke dalam rahim secara intra mural
g. Luka insisi segmen atas rahim dijahit kembali
Lapisan I : Lapisan endometrium bersama miometrium dijahit secara jelujur dengan benang catgut khromik
Lapisan II : hanya miometrium saja dijahit secara simpul dengan catgut khromik
Lapisan III : perimetrium saja, dijahit secara simpul dengan benang catgut biasa
h. Setelah dinding rahim selesai dijahit, kedua adneksa dieksplorasi
i. Rongga perut dibersihkan dari sisa-sisa darah dan akhirnya luka di dinding perut dijahit
2.1.6.2 Teknik Seksio Sesaria Transperitoneal Profunda
a. Mula-mula dilakukan desinfeksi pada dinding perut dan lapangan dipersempit dengan kain suci hama
b. Pada dinding perut dibuat insisi mediana mulai dari atas simfisis sampai di bawah umbilicus lapis demi lapis sehingga kavum peritoneal terbuka
c. Dalam rongga perut di sekitar rahim dilingkari dengan kasa laparotomi
d. Dibuat bladder-flap, yaitu dengan menggunting peritoneum kandung kencing di depan segmen bawah rahim secara melintang. Kandung kencing ini disisihkan secara tumpul ke arah samping dan bawah, dan kandung kencing yang telah disisihkan ke arah bawah dan samping dilindungi dengan speculum kandung kencing
e. Dibuat insisi pada segmen bawah rahim 1 cm di bawah irisan plika vesikouterina tadi secara tajam dengan pisau bedah kurang lebih 2cm, kemudian diperlebar melintang secara tumpul dengan kedua jari telunjuk operator. Arah insisi pada segmen bawah rahim dapat melintang sesuai Kerr, atau membujur sesuai Kronig.
f. Setelah kavum uteri terbuka, selaput ketuban dipecahkan, janin dilahirkan dengan meluksir kepala. Badan janin dilahirkan dengan mengait kedua ketiaknya. Tali pusat dijepit dan dipotong, plasenta dilahirkan secara manual, kemudian disuntikkan 10 U oksitosin ke dalam otot rahim secara intra mural
g. Luka dinding rahim dijahit :
Lapisan I : dijahit jelujur, pada endometrium dan miometrium
Lapisan II : dijahit jelujur hanya pada miometrium saja
Lapisan III : dijahit jelujur pada plika vesikouterina
h. Setelah dinding rahim selesai dijahit, kedua adneksa dieksplorasi
i. Rongga perut dibersihkan dari sisa-sisa darah dan akhirnya luka di dinding perut dijahit. (Hanifa Wiknjosastro, 2005)


2.1.7 Pemulihan dari Operasi Caesar
2.1.7.1 Efek lanjutan pembiusan
Pasien mungkin sangat gemetar dan peka terhadap perubahan suhu. Diperlukan waktu lebih lama untuk sadar dari pembiusan epidural. Pasien akan diminta menggerakkan jari-jari kaki dan menggerakkan kaki begitu sadar.
2.1.7.2 Rasa sakit di sekitar bekas sayatan
Begitu efek obat bius hilang, luka akan terasa sakit meskipun tingkat nyerinya bergantung pada banyak faktor, termasuk ambang nyeri dan berapa kali melakukan operasi Caesar.
2.1.7.3 Latihan bernafas dan batuk
Ini membantu membuang sisa obat bius dari system tubuh dan membantu mengembangkan dan membersihkan paru-paru, serta mencegah pneumonia.
2.1.7.4 Kelelahan
Hal ini sebagai akibat kehilangan banyak darah dan juga karena efek obat bius.
2.1.7.5 Evaluasi rutin atas kondisi anda
Dilakukan pemeriksaan secara periodic tanda-tanda vital, kelancaran kencing dan aliran dari vagina, perban di bekas sayatan, dan tingkat uterus (karena uterus akan mengkerut dan akan kembali ke pelvis).
2.1.7.6 Nyeri pasca operasi
Ini akan terjadi dua belas atau dua puluh empat jam setelah melahirkan

2.1.7.7 Secara perlahan kembali ke pola makan normal
Riset menunjukkan bahwa para wanita yang mengkonsumsi makanan padat lebih awal (sedikit demi sedikit, tetapi mulai dari empat hingga delapan jam pasca operasi) bisa mempercepat keinginan buang air dan biasanya siap keluar dari rumah sakit 24 jam lebih awal dibanding mereka yang hanya mendapat makanan cair.
2.1.7.8 Rasa nyeri bahu
Iritasi pada rongga dada setelah operasi bisa mengakibatkan rasa sakit menyengat pada bahu
2.1.7.9 Kemungkinan sembelit
Disebabkan karena operasi dan anestesi yang memperlambat proses buang air besar. Mungkin akan mengalami perut kembung yang menyiksa karena sembelit. (Heidi Murkoff, et.al, 2007)

2.1.8 Fase – Fase Penyembuhan Luka
2.1.8.1 Fase Inflamasi
Berlangsung selama 1 sampai 4 hari. Respons vaskular dan selular terjadi ketika jaringan teropong atau mengalami cedera. Vasokonstriksi pembuluh terjadi dan bekuan fibrinoplatelet terbentuk dalam upaya untuk mengontrol pendarahan. Reaksi ini berlangsung dari 5 menit sampai 10 menit dan diikuti oleh vasodilatasi venula. Mikrosirkulasi kehilangan kemampuan vasokonstriksinya karena norepinefrin dirusak oleh enzim intraselular. Juga, histamin dilepaskan, yang meningkatkan permeabilitas kapiler.
Ketika mikrosirkulasi mengalami kerusakan, elemen darah seperti antibodi, plasma protein, elektrolit, komplemen, dan air menembus spasium vaskular selama 2 sampai 3 hari, menyebabkan edema, teraba hangat, kemerahan dan nyeri.
2.1.8.2 Fase Proliferatif
Berlangsung 5 sampai 20 hari. Fibroblas memperbanyak diri dan membentuk jaring-jaring untuk sel-sel yang bermigrasi. Sel-sel epitel membentuk kuncup pada pinggiran luka; kuncup ini berkembang menjadi kapiler, yang merupakan sumber nutrisi bagi jaringan granulasi yang baru.
Setelah 2 minggu, luka hanya memiliki 3% - 5% dari kekuatan aslinya. Sampai akhir bulan, hanya 35% - 59% kekuatan luka tercapai. Tidak akan lebih dari 70% sampai 80% kekuatan dicapai kembali. Banyak vitamin, terutama vitamin C, membantu dalam proses metabolisme yang terlibat dalam penyembuhan luka.
2.1.8.3 Fase Maturasi
Berlangsung 21 hari sampai sebulan atau bahkan tahunan. Sekitar 3 minggu setelah cedera, fibroblast mulai meninggalkan luka. Jaringan parut tampak besar, sampai fibril kolagen menyusun kedalam posisi yang lebih padat. (Smeltzer, 2002)

2.2 Konsep Mobilisasi
2.2.1 Pengertian
Mobilisasi merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak dengan bebas dan merupakan faktor yang menonjol dalam mempercepat pemulihan pasca bedah; mobilisasi dini merupakan suatu aspek yang terpenting pada fungsi fisiologis karena hal itu esensial untuk mempertahankan kemandirian (Carpenito, 2000).
Mobilisasi aktif merupakan latihan gerak isotonic dimana klien menggerakkan masing-masing persendiannya sesuai dengan rentang gerak yang normal (Eny Retna, 2009). Mobilisasi pasif merupakan latihan pergerakan dimana tenaga medis dan petugas lain menggerakkan persendian dari klien sesuai dengan rentang geraknya (Eny Retna, 2009)
Mobilisasi dini dapat dilakukan pada kondisi pasien yang membaik. Pada pasien post operasi seksio sesaria 6 jam pertama dianjurkan untuk segera menggerakkan anggota tubuhnya. Gerak tubuh yang bisa dilakukan adalah menggerakkan lengan, tangan, kaki dan jari – jarinya agar kerja organ pencernaan segera kembali normal ( Dini Kasdu, 2003).

2.2.2 Faktor - faktor yang mempengaruhi mobilisasi
2.1.2.1 Faktor fisiologis
Frekuensi penyakit atau operasi dalam 12 bulan terakhir, tipe penyakit, status kardiopulmonar, status muskuloskletal, pola tidur, keberadaan nyeri, frekuensi aktifitas dan kelainan hasil laboratorium.
2.1.2.2 Faktor emosional
Faktor emosional yang mempengaruhi mobilisasi adalah suasana hati, depresi, cemas, motivasi, ketergantungan zat kimia, dan gambaran diri.


2.1.2.3 Faktor perkembangan
Faktor perkembangan yang mempengaruhi mobilisasi adalah usia, jenis kelamin, kehamilan, perubahan masa otot karena perubahan perkembangan, perubahan sistem skeletal (Potter, Perry, 2006).

2.2.3 Tujuan mobilisasi pada ibu pasca bedah seksio sesaria
Tujuan mobilisasi yaitu membantu proses penyembuhan ibu yang telah melahirkan, untuk menghindari terjadinya infeksi pada bekas luka sayatan setelah operasi seksio sesaria, mengurangi resiko terjadinya konstipasi, mengurangi terjadinya dekubitus, kekakuan atau penegangan otot – otot di seluruh tubuh, mengatasi terjadinya gangguan sirkulasi darah, pernafasan, peristaltik maupun berkemih (Carpenito, 2000).

2.2.4 Prosedur mobilisasi
2.2.4.1 Hari 1 – 4
a. Membentuk lingkaran dan meregangkan telapak kaki
Ibu berbaring di tempat tidur, kemudian bentuk gerak lingkaran dengan telapak kaki satu demi satu. Gerakan itu seperti sedang menggambar sebuah lingkaran dengan ibu jari kaki ibu ke satu arah, lalu ke arah lainnya.
Kemudian regangkan masing – masing telapak kaki dengan cara menarik jari – jari kaki ibu ke arah betis, lalu balikkan ujung telapak kaki ke arah sebaliknya sehingga ibu merasakan otot betisnya berkontraksi. Lakukan gerakan ini dua atau tiga kali sehari.
b. Bernafas dalam
1) Berbaring dan tekukkan kaki sedikit. Tempatkan kedua tangan ibu di bagian dada atas dan tarik nafas. Arahkan nafas itu ke arah tangan ibu, lalu tekanlah dada saat ibu menghembuskan nafas.
2) Kemudian tarik nafas sedikit lebih dalam. Tempatkan kedua tangan di atas tulang rusuk, sehingga ibu dapat merasakan paru – paru mengembang, lalu hembuskan nafas seperti sebelumnya.
3) Cobalah untuk bernafas lebih dalam sehingga mencapai perut. Hal ini akan merangsang jaringan – jaringan di sekitar bekas luka. Sangga insisi ibu dengan cara menempatkan kedua tangan secara lembut di atas daerah tersebut. Kemudian, tarik dan hembuskan nafas yang lebih dalam lagi beberapa kali. Ulangi sebanyak tiga atau empat kali.
c. Duduk tegak
1) Tekuk lutut dan miring ke samping.
2) Putar kepala ibu dan gunakan tangan – tangan ibu untuk membantu dirinya ke posisi duduk. Saat melakukan gerakan yang pertama, luka akan tertarik dan terasa sangat tidak nyaman, namun teruslah berusaha dengan bantuan lengan sampai ibu berhasil duduk. Pertahankan posisi itu selama beberapa saat.
3) Kemudian, mulailah memindahkan berat tubuh ke tangan , sehingga ibu dapat menggoyangkan pinggul ke arah belakang. Duduk setegak mungkin dan tarik nafas dalam – dalam beberapa kali, luruskan tulang punggung dengan cara mengangkat tulang-tulang rusuk. Gunakan tangan ibu untuk menyangga insisi. Cobalah batuk 2 atau 3 kali.
d. Bangkit dari tempat tidur
1) Gerakkan tubuh ke posisi duduk. Kemudian gerakkan kaki pelan – pelan ke sisi tempat tidur. Gunakan tangan ibu untuk mendorong ke depan dan perlahan turunkan kedua telapak kaki ibu ke lantai.
2) Tekanlah sebuah bantal dengan ketat di atas bekas luka ibu untuk menyangga. Kemudian, coba bagian atas tubuh ibu. Cobalah meluruskan seluruh tubuh lalu luruskan kedua kaki ibu.
e. Berdiri dan meraih
Duduklah di bagian tepi tempat tidur, angkat tubuh hingga berdiri. Pertimbangkanlah untuk mengontraksikan otot – otot punggung agar dada mengembang dan meregang. Cobalah untuk mengangkat tubuh, mulai dari pinggang perlahan – lahan, melawan dorongan alamiah untuk membungkuk, lemaskan tubuh ke depan selama satu menit.
f. Berjalan
Dengan bantal tetap tertekan di atas bekas luka, berjalanlah ke depan. Saat berjalan usahakan kepala tetap tegak, bernafas lewat mulut. Teruslah berjalan selama beberapa menit sebelum kembali ke tempat tidur.
g. Menarik perut
Berbaringlah di tempat tidur dan kontraksikan otot – otot dasar pelvis, dan cobalah untuk menarik perut. Perlahan – lahan letakkan kedua tangan di atas bekas luka dan berkonsentrasilah untuk menarik perut menjauhi tangan ibu. Lakukan 5 kali tarikan, dan lakukan 2 kali sehari.
h. Saat menyusui
Tarik perut sembari menyusui. Kontraksikan otot – otot perut selama beberapa detik lalu lemaskan. Lakukan 5 sampai 10 kali setiap kali ibu menyusui.
2.2.4.2 Hari 4 – 7
a. Menekuk pelvis
Kontraksikan abdomen dan tekan punggung bagian bawah ke tempat tidur. Jika dilakukan dengan benar pelvis akan menekuk. Lakukan 4 hingga 8 tekukan selama 2 detik.
b. Meluncurkan kaki
Berbaring dengan lutut tertekuk dan bernafaslah secara normal, lalu luncurkan kaki di atas tempat tidur, menjauhi tubuh. Seraya mendorong tumit, ulurkan kaki, sehingga ibu merasakan sedikit denyutan di sekitar insisi. Lakukan 4 kali dorongan untuk 1 kaki.
c. Sentakan pinggul
Berbaringlah di atas tempat tidur, tekukkan kaki ke atas dan rentangkan kaki yang satu lagi. Lakukan gerakan menunjuk ke arah jari – jari kaki. Dorong pinggul pada sisi yang sama dengan kaki yang tertekuk ke arah bahu, lalu lemaskan. Dorong kaki menjauhi tubuh dengan lurus. Lakukan 6 hingga 8 pengulangan untuk masing-masing tubuh.


d. Menggulingkan lutut
Berbaring di tempat tidur , kemudian letakkan tangan di samping tubuh untuk menjaga keseimbangan. Perlahan-lahan gerakkan kedua lutut ke satu sisi. Gerakkan lutut hingga bisa merasakan tubuh ikut berputar. Lakukan 3 kali ayunan lutut ke masing – masing sisi. Akhiri dengan meluruskan kaki.
e. Posisi jembatan
Berbaringlah di atas tempat tidur dengan kedua lutut tertekuk. Bentangkan kedua tangan ke bagian samping untuk keseimbangan. Tekan telapak kaki ke bawah dan perlahan – lahan angkat pinggul dari tempat tidur. Rasakan tulang tungging terangkat. Lakukan 5 kali sehari.
f. Posisi merangkak
1) Perlahan-lahan angkat tubuh dengan bertopang kedua tangan dan kaki di atas tempat tidur. Saat ibu dapat mempertahankan posisi merangkak tanpa merasa tak nyaman sedikitpun, ibu dapat menambah beberapa gerakan dalam rangkaian ini.
2) Tekan tangan dan kaki di tempat tidur, dan cobalah untuk melakukan gerakan yang sama dengan sentakan pinggul, sehingga pinggul terdorong ke arah bahu. Jika benar, ibu akan merasa seolah – olah menggoyang- goyangkan ekor. Lakukan gerakan ini 5 kali sehari.
3) Tekan bagian tengah punggung ke arah bawah, saat melengkung tubuh ke bawa, ibu bisa merasakan perut meregang. Kemudian, saat meluruskan punggung, berkonsentrasilah menarik abdomen. (Gallagher, C.M, 2004)
2.2.5 Indikator Pemulihan Pasca Seksio Sesaria Dengan Mobilisasi
Pada hari ketiga sampai kelima setelah operasi ibu diperbolehkan pulang ke rumah apabila tidak terjadi komplikasi. Perkembangan kesembuhan ibu pasca seksio sesaria dapat dilihat dari hari kehari. Hari kedua setelah operasi ibu berusaha buang air kecil sendiri tanpa bantuan kateter, dan melakukannya di kamar mandi dengan dibantu keluarga.
Hari ketiga umumnya ibu baru akan buang air besar, dimana saat awal setelah persalinan ibu mengalami sembelit. Pada hari keempat lokia pada ibu pasca seksio sesaria normalnya 2 x ganti doek/ hari, perubahan ini menunjukkan bahwa rahim berkontraksi yaitu mengalami proses untuk kembali ke kondisi dan ukuran yang normal. Pada hari kelima fundus uteri berada pada pertengahan pusat simfisis dan hari ketujuh setelah operasi luka bekas sayatan mengering. (Dini Kasdu, 2003)

2.3 Konsep Post Partum
2.3.1 Pengertian
Post Partum adalah periode 6 minggu antara kelahiran sampai kembalinya organ reproduksi pada kondisi normal seperti kondisi sebelum melahirkan
2.3.2 Pembagian Masa Nifas
2.3.2.1 Puerperium dini, yaitu kepulihan dimana ibu telah diperbolehkan berdiri dan berjalan-jalan.
2.3.2.2 Puerperium intermedial, yaitu kepulihan menyeluruh alat-alat genitalis yang lamanya 6 – 8 minggu.
2.3.2.3 Remote puerperium, waktu yang diperlukan untuk pulih dan sehat sempurna terutama bila selama hamil atau waktu persalinan mempunyai komplikasi.

2.3.3 Perubahan Fisiologis Pada Masa Nifas
2.1.3.1 Uterus
a. Uterus secara berangsur-angsur menjadi kecil (involusi) sehingga akhirnya kembali seperti sebelum hamil.
b. Bayi lahir fundus uteri setinggi pusat dengan berat uterus 1000 gr
c. Akhir kala III persalinan tinggi fundus uteri teraba 2 jari bawah pusat dengan berat uterus 750 gr.
d. Satu minggu post partum tinggi fundus uteri teraba pertengan pusat simpisis dengan berat uterus 500 gr
e. Dua minggu post partum tinggi fundus uteri tidak teraba diatas simpisis dengan berat uterus 350 gr
f. Enam minggu post partum fundus uteri mengecil dengan berat 50 gr
2.1.3.2 Lochea
Lochea adalah cairan secret yang berasal dari cavum uteri dan vagina dalam masa nifas
Macam – macam Lochea :
a. Lochea rubra (Cruenta): berisi darah segar dan sisa – sisa selaput ketuban, sel-sel desidua, verniks kaseosa, lanugo, dam mekonium, selama 2 hari post partum.
b. Lochea Sanguinolenta : berwarna kuning berisi darah dan lendir, hari 3 – 7 post partum.
c. Lochea serosa : berwarna kuning cairan tidak berdarah lagi, pada hari ke 7 – 14 post partum
d. Lochea alba : cairan putih, setelah 2 minggu
e. Lochea purulenta : terjadi infeksi, keluar cairan seperti nanah berbau busuk
f. Lochea stasis : lochia tidak lancar keluarnya.
2.1.3.3 Serviks
Serviks mengalami involusi bersama-sama uterus. Setelah persalinan, ostium eksterna dapat dimasuki oleh 2 hingga 3 jari tangan, setelah 6 minggu persalinan serviks menutup
2.1.3.4 Vulva dan Vagina
Vulva dan vagina mengalami penekanan serta peregangan yang sangat besar selama proses melahirkan bayi, dan dalam beberapa hari pertama sesudah proses tersebut, kedua organ ini tetap berada dalam keadaan kendur. Setelah 3 minggu vulva dan vagina kembali kepada keadaan tidak hamil dan rugae dalam vagina secara berangsur-angsur akan muncul kembali sementara labia menjadi lebih menonjol.
2.1.3.5 Perineum
Segera setelah melahirkan, perineum menjadi kendur karena sebelumnya teregang oleh tekanan kepala bayi yang bergerak maju. Pada post natal hari ke 5, perineum sudah mendapatkan kembali sebagian besar tonusnya sekalipun tetap lebih kendur dari pada keadaan sebelum melahirkan.
2.1.3.6 Payudara
Penurunan kadar progesteron secara cepat dengan peningkatan hormon prolaktin setelah persalinan.Kolostrum sudah ada saat persalinan produksi Asi terjadi pada hari ke-2 atau hari ke-3 setelah persalinan. Payudara menjadi besar dan keras sebagai tanda mulainya proses laktasi
2.1.3.7 Sistem Perkemihan
Buang air kecil sering sulit selama 24 jam pertama, kemungkinan terdapat spasme sfingter dan edema leher buli-buli sesudah bagian ini mengalami kompresi antara kepala janin dan tulang pubis selama persalinan. Ureter yang berdilatasi akan kembali normal dalam waktu 6 minggu.
2.1.3.8 Sistem Gastrointestinal
Seringkali diperlukan waktu 3 – 4 hari sebelum faal usus kembali normal. Rasa sakit didaerah perineum dapat menghalangi keinginan buang air besar.
2.1.3.9 Sistem Kardiovaskuler
Jumlah eritrosit dan hemoglobin kembali normal pada hari ke-5. Plasma darah tidak begitu mengandung cairan dan dengan demikian daya koagulasi meningkat. Pembekuan darah harus dicegah dengan penanganan yang cermat dan penekanan pada ambulasi dini.
2.1.3.10 Sistem Endokrin
Kadar estrogen menurun 10% dalam waktu sekitar 3 jam post partum. Progesteron turun pada hari ke 3 post partum


2.1.3.11 Sistem muskuloskletal
Ambulasi pada umumnya dimulai 4 – 8 jam post partum. Ambulasi dini sangat membantu untuk mencegah komplikasi dan mempercepat proses involusi.
2.1.3.12 Sistem integumen
Penurunan melanin umumnya setelah persalinan menyebabkan berkurangnya hyperpigmentasi kulit

2.3.4 Perawatan Pasca Operasi
Di ruang pemulihan, berbagai pemeriksaan dilakukan, meliputi pemeriksaan tingkat kesadaran, sirkulasi darah, tekanan darah, suhu tubuh, jumlah urin yang tertampung, jumlah darah dalam tubuh, serta jumlah dan bentuk cairan lokia. Ini untuk memastikan tidak ditemukan gumpalan darah yang abnormal atau perdarahan berlebihan. Kondisi rahim (uterus) dan leher rahim juga akan diperiksa.
Setelah melewati tahap kritis di ruang pemulihan, biasanya pasien dipindahkan ke ruang rawat inap. Pemeriksaan yang dilakukan adalah :
a. Pengukuran denyut jantung dan tekanan darah
b. Pemantauan jumlah dan penampilan lokia
c. Observasi pola eleminasi urin dan alvi
d. Tes darah untuk mengetahui kadar hemoglobin
e. Pemeriksaan bekas sayatan, kalau perlu perban diganti
f. Efek pembiusan
g. Infus
h. Pola makan dan minum
i. Kemampuan bangun dan menggerakkan tubuh. (Dini Kasdu, 2003)

2.3.5 Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam perawatan post partum
2.3.5.1 Mobilisasi
Umumnya wanita sangat lelah setelah melahirkan, lebih-lebih bila persalinan berlangsung lama, karena si ibu harus cukup beristirahat, dimana ia harus tidur terlentang selama 8 jam post partum untuk mencegah perdarahan post partum.
Kemudian ia boleh miring ke kiri dan ke kanan untuk mencegah terjadinya trombosis dan trombo emboli. Pada hari kedua telah dapat duduk, dan hari ketiga telah dapat jalan-jalan. Mobilisasi ini tidak mutlak, bervariasi tergantung pada adanya komplikasi persalinan, nifas, dan sembuhnya luka.
2.3.5.2 Diet / Makanan
Makanan yang diberikan harus bermutu tinggi dan cukup kalori, yang mengandung cukup protein, banyak cairan, serta banyak buah-buahan dan sayuran karena si ibu ini mengalami hemo konsentrasi.
2.3.5.3 Buang Air Kecil
Buang air kecil harus secepatnya dilakukan sendiri. Kadang-kadang wanita sulit kencing karena pada persalinan musculo sphincter vesica et urethare mengalami tekanan oleh kepala janin dan spasme oleh iritasi iritasi sphincter ani. Juga oleh karena adanya oedema kandungan kemih yang terjadi selama persalinan.
2.3.5.4 Buang Air Besar
Buang air besar harus sudah ada dalam 3-4 hari post partum. Bila ada obstipasi dan timbul berak yang keras, dapat kita lakukan pemberian obat pencahar peroral atau per rektal, atau dilakukan klisma bila belum berakhir.
2.3.5.5 Demam
Sesudah bersalin, suhu badan ibu naik ± 0,5 C dari keadaan normal, tapi tidak melebihi 38 C. Dan sesudah 12 jam pertama suhu badan akan kembali normal. Bila suhu lebih dari 38 C mungkin telah ada infeksi.
2.3.5.6 Mules
Hal ini timbul akibat kontraksi uterus dan biasanya lebih terasa sedang menyusui. Hal ini dialami selama 2-3 hari sesudah bersalin. Perasaan sakit ini juga timbul bila masih ada sisa selaput ketuban, plasenta atau gumpalan darah di cavum uteri.
2.3.5.7 Laktasi
Delapan jam sesudah persalinan si ibu disuruh mencoba menyusui bayinya untuk merangsang timbulnya laktasi, kecuali ada kontra indikasi untuk menyusui bayinya, misalnya: menderita thypus abdominalis, tuberkulosis aktif, thyrotoxicosis, DM berat, psikosi atau puting susu tertarik ke dalam, leprae. (Llewellyn, D, (2001), http://www.scribd.com)




BAB 3
KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual adalah abstraksi dari suatu realitas agar dapat dikomunikasikan dan membentuk suatu teori yang menjelaskan keterkaitan antar variabel (Nursalam, 2001).












Keterangan :
= diukur = tidak diukur


Dari gambar 3.1 dapat dijelaskan bahwa pasien post seksio sesaria harus melakukan mobilisasi baik secara aktif maupun pasif. Di mana aktivitas tersebut akan mempengaruhi proses pemulihan kondisinya seperti sebelum hamil. Mobilisasi menyebabkan suatu kontraksi dari jaringan otot dan pembuluh darah, yang secara otomatis akan merangsang kerja saraf yang terganggu baik akibat kehamilan ataupun anestesi pada saat seksio sesaria.
Dengan terbentuknya kontraksi tersebut, saraf pada usus, kandung kemih, dan uterus juga terpengaruh sehingga involusi uterus, kontraksi blader, dan motilitas usus dapat berangsur-angsur membaik. Selain itu mobilisasi yang dilakukan juga merangsang pengeluaran bekuan darah dan lokia yang bila tertinggal bisa menjadi sumber infeksi bagi ibu.

3.2 Hipotesis
Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, di mana rumusan masalah penelitian telah ditanyakan dalam bentuk kalimat pertanyaan. (Sugiyono, 2009)
H1 : terdapat perbedaan kecepatan pemulihan yang signifikan antara pasien yang diberi latihan mobilisasi aktif dan yang diberi latihan mobilasi pasif






BAB 4
METODE PENELITIAN
Metode penelitian adalah cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu (Sugiyono, 2009). Pada bab ini akan diuraikan mengenai rancangan atau desain penelitian, kerangka kerja, populasi, sampel, sampling, identifikasi variable, definisi operasional, pengumpulan data dan analisa data, etika penelitian, dan keterbatasan.

4.1 Rancangan / Desain Penelitian
Rancangan penelitian merupakan hasil akhir dari suatu tahap keputusan yang dibuat oleh peneliti berhubungan dengan bagaimana suatu penelitian bisa diterapkan (Nursalam, 2001). Berdasarkan tujuan penelitian, rancangan penelitian yang digunakan adalah one group pretest-posttest. Penelitian dilakukan untuk mengidentifikasi perbedaan efektifitas mobilisasi aktif dan pasif terhadap kecepatan pemulihan pada pasien post seksio sesaria.









4.2 Kerangka Kerja
Kerangka kerja (frame work) atau kerangka penelitian adalah teori yang bisa diukur dan telah dikembangkan pada perawatan atau disiplin ilmu yang lain. Pada kerangka kerja disajikan alur penelitian, terutama variable yang akan digunakan dalam penelitian (Nursalam, 2003).



















4.3 Populasi, Sampel, dan Sampling
4.3.1 Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2009).
Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien post operasi seksio sesaria di Ruang Rawat Inap Kebidanan RS. Baptis Kediri.

4.3.2 Sampel
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut (Sugiyono, 2009).
Sampel dalam penelitian ini adalah semua pasien seksio sesaria di ruang rawat inap kebidanan RS. Baptis Kediri selama bulan Maret dan memenuhi kriteria inklusi.
4.3.2.1 Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subjek penelitian dari populasi target yang terjangkau dan akan diteliti (Nursalam, 2001).
Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah :
a. Pasien yang telah menjalani operasi seksio sesaria elektif atau operasi seksio yang direncanakan (bukan emergency)
b. Pasien post operasi seksio sesaria tanpa komplikasi
c. Pasien yang bersedia menjadi responden
d. Umur kurang dari 40 tahun

4.3.2.2 Kriteria eksklusi
Kriteria eksklusi adalah menghilangkan atau mengeluarkan subjek yang memenuhi kriteria inklusi dari studi karena pelbagai sebab (Nursalam, 2001).
Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah :
a. Pasien dengan komplikasi perdarahan, persalinan kasep
b. Pasien yang telah menjalani operasi seksio sesaria emergency
c. Pasien tidak mengkonsumsi obat diuretik dan laksatif
4.3.2.3 Besar Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah semua pasien post operasi seksio sesaria selama bulan Maret 20011 di Ruang Rawat Inap Kebidanan RS. Baptis Kediri dan memenuhi kriteria inklusi.

4.3.3 Sampling
Sampling adalah proses menyeleksi porsi dari populasi untuk dapat mewakili populasi (Nursalam, 2001). Tehnik sampling dilakukan secara total sampling, yaitu teknik pengambilan sampel dengan cara mengambil seluruh populasi yang ada (Nursalam, 2003). Sampel pada penelitian ini adalah semua pasien post operasi seksio sesaria selama bulan Maret 2011.

4.4 Identifikasi Variabel
Variabel penelitian adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2007).
4.4.1 Variabel bebas (independent variable)
Variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel dependen atau terikat. (Sugiyono, 2009). Variabel bebas penelitian ini adalah mobilisasi aktif dan mobilisasi pasif.

4.4.2 Variabel terikat (dependent variable)
Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat karena adanya variabel bebas (Sugiyono, 2009). Variabel terikat merupakan faktor yang diamati dan diukur untuk menentukan ada tidaknya variabel bebas. Variabel terikat penelitian ini adalah kecepatan pemulihan pasien post seksio sesaria.

4.5 Definisi Operasional
4.5.1 Pengertian Definisi Operasional
Definisi operasional adalah penjelasan variabel dan istilah yang akan digunakan dalam penelitian secara operasional sehingga akhirnya mempermudah pembaca dalam mengartikan makna penelitian (Setiadi, 2007; 165)






4.6 Pengumpulan Data dan Analisa Data
4.6.1 Pengumpulan Data
4.6.1.1 Instrumen Pengumpulan Data
Instrumen penelitian adalah suatu alat yang digunakan mengukur fenomena alam maupun sosial yang diamati (Sugiyono, 2009). Pengumpulan data untuk variabel dependen yaitu kecepatan pemulihan pada pasien post seksio sesaria dilakukan dengan cara studi dokumentasi.
Data yang diperhatikan adalah data tentang pola eleminasi, pengeluaran lokia, dan kemampuan mobilisasi. Sedangkan untuk variabel independen yaitu mobilisasi aktif dan pasif dilakukan dengan cara observasi partisipasi moderat, yaitu peneliti dalam mengumpulkan data ikut observasi dalam beberapa kegiatan, tetapi tidak semuanya (Sugiyono, 2009).
4.6.1.2 Waktu dan Tempat
a. Waktu Penelitian
Penelitian direncanakan pada bulan Maret 2011.
b. Tempat Penelitian
Tempat yang digunakan untuk penelitian adalah Ruang Rawat Inap Kebidanan RS. Baptis Kediri
4.6.1.3 Proses Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan tehnik observasi, studi dokumentasi, dan pemberian latihan mobilisasi aktif dan pasif. Responden yang diintervensi untuk melakukan latihan sebelumnya diobservasi mengenai pola eleminasi, diwawancarai tentang frekuensi BAB dan BAK setiap 24 jam. Setelah pengkajian, pasien diberikan informed consent. Bila pasien setuju, peneliti memberikan intervensi latihan mobilisasi aktif ataupun pasif. Hasil intervensi kemudian diobservasi dan didokumentasikan pada hari ke-2 setelah intervensi.

4.6.2 Analisa Data
4.6.2.1 Langkah-langkah analisa
a. Coding Data
Memberikan kode pada setiap informasi yang sudah terkumpul dari observasi dan studi dokumentasi untuk memudahkan mengelola data.
b. Skoring
Variabel independent : mobilisasi aktif dan pasif












Variabel dependent : kecepatan pemulihan








c. Tabulasi Data
Setelah data observasi dan studi dokumentasi diperoleh, maka data ditabulasikan dan disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi.
4.6.2.2 Pengambilan Kesimpulan
Data yang telah diambil kemudian diolah untuk pengujian hipotesa penelitian. Metode yang dipakai adalah dengan membandingkan hasil latihan mobilisasi aktif pada hari ke-2 post operasi seksio sesaria.

4.7 Masalah Etik (Ethical Clearance)
Sebagai pertimbangan etik maka peneliti perlu meminta persediaan ibu post partum untuk menjadi responden dalam penelitian ini dengan memberikan informed consent pada responden dan peneliti juga wajib merahasiakan nama responden dan data yang diberikan oleh responden kepada orang lain.


4.8 Keterbatasan
Menurut Burn dan Grove (1991) yang dikutip oleh Nursalam (2001), mengemukakan bahwa ketrbatasan adalah kelemahan atau hambatan dalam penelitian. Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan, diantaranya adalah keterbatasan peneliti dalam pemberian latihan mobilisasi aktif dan pasif, dan jumlah pasien seksio sesaria yang tidak konstan setiap bulan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar